Di kota-kota besar mungkin ada, tapi tidak di daerah di kabupaten/kota. Kalau pun ada, anak-anak sekarang sudah berbeda keinginannya.
Mereka lebih senang ke dunia multimedia bukan konvensional. Terutama penggunaan gadget (HP). Mana ada anak-anak seusia SMA sekarang yang membaca koran.
Semua informasi mereka dapat lewat Gawai/Gadget. Asal ada kuota dan signal, mereka sudah bisa berselancar di dunia maya.
Sementara, koran secanggih apa pun teknologinya tetap berbiaya tinggi.
Mulai dari harga kertas, tinta dan tetek bengeknya. Sehingga membuat harga jual koran pun mahal.
Sedangkan pendapatan dari periklanan jauh berkurang. Bisa dikatakan anjlok.
Akibatnya perusahaan penerbitan koran merugi. Pendapatan tidak bisa menutupi biaya operasional perbulannya.
Begitulah. Telah terjadi perubahan total di masyarakat pembaca.
Dunia koran sudah ketinggalan atau tepatnya ditinggalkan pembaca. Disrupsi teknologi membuat semuanya berubah.
Dengan HP orang sudah bisa mendapatkan informasi apa saja.
Dengan HP orang bisa belanja apa saja, sehingga tak perlu ke toko, barangnya datang sendiri ke rumah lewat kurir.
Bisa COD lagi (Cash On Delivery). Barang sampai baru bayar.
Barang tidak sesuai order bisa dirijeck/ditolak.
Perubahan ini juga membuat pengusaha dan manajemen perusahaan penerbitan koran mutar otak untuk mencari formula baru.
Sembari "memaksa" tetap menerbitkan koran, sembari mencari platform baru agar koran tetap ada.
Sebelum betul-betul hijrah ke dunia digital multimedia dan benar-benar meninggalkan koran print/cetak.