Di daerah kecil pun ada perusahaan koran.
Namun, setelah ia mengikuti paparan Dewan Pers mengenai persentase tingkat kepercayaan pembaca terhadap berita online hampir menyamai koran.
Dari sanalah, Bos Dis menyimpulkan bahwa masa depan koran suram. Bisa dibilang koran akan mati. Tamat.
Habis digilas berita online. Belum lagi dampak media sosial. Sehingga Bos Dis sampai kepada kesimpulannya itu.
Apa betul-betul tamat? Bisa saja bertahan, kalau hanya untuk bertahan. Tetapi, itu pun kerjanya harus super ekstra.
Jika sebelumnya kerja wartawan koran tak mengenal waktu, sekarang harus lebih gila lagi.
Bila perlu 30 jam kerja sehari semalam. Itupun kualitas beritanya harus super diatas super. Konten atau berita harus dengan kualitas A plus.
Bukan tulisan biasa-biasa saja. Harus berani tampil beda.
Beda dengan media online. Jika isi koran sama dengan media online, maka koran tak akan ditoleh lagi.
Beda saja belum tentu juga ditoleh (dibaca).
Apalagi sama atau hanya memindahkan konten online ke koran cetak. Itu dari segi isi.
Belum lagi dari sisi sumberdaya manusianya (wartawan).
Menurut Bos Dahlan, wartawannya harus yang muda-muda dan energik.
Menyesuaikan dengan eranya sekarang. Eranya anak muda, eranya dunia digital.
Merekalah yang mengerti kemauan dunianya.
Persoalannya tak segampang itu mencari anak muda yang energik untuk menyukai dunia kewartawanan.