Wang Buliau
Wang Buliau.----
Tentu kepala ikannya saya tinggal di piring. Tahu bahwa potongan ke 13 itu untuk istri di rumah, Pak Tirto maksa agar kepala itu pun diikutkan dalam bungkusan. Dalam hati saya memuji Tuhan: alangkah bergairahnya istri saya nanti membuka bungkusan itu.
Saya sengaja tidak mau menuliskan di sini seperti apa rasa ikan itu. Betapa enaknya. Yang jelas lebih enak dari ikan langka yang ada di Yangzhong, Provinsi Jiangshu. Yang satu ekor Rp 5 juta itu. Yang hanya ada di dua minggu dalam setahun. Yang saya makan akhir April lalu.
Wang Buliau ini tidak kalah mahal. Satu ekor yang di meja makan itu seharga Rp 6 juta. Mirip dengan yang di Yangzhou, tulangnya juga banyak. Panjang-panjang. Tidak bahaya.
Chef tahu bahwa ikan ini mahal. Maka ia harus memaksimalkannya: tulangnya untuk sop. Disajikan yang pertama. Untuk membuka selera. Sop tulang ikan Wang Buliau. Di tulang itu masih sedikit menempel daging-dagingnya. Enak untuk diisap-isap di mulut.
Lalu kulit bagian luarnya, sisiknya, digoreng kering. Entah dicampur apa. Enak sekali. Kriuk-kriuk. Untuk bisa mengambil sisik itu ikannya direbus dulu. Sisiknya bisa lepas dengan mudah.
Mengapa Wang Buliau begitu mahal? Mengapa tidak banyak yang menternakkannya?
"Siapa yang mau," ujar Fajar. "Saya saja yang bodoh," tambahnya.
Tentu Fajar tidak bodoh. Hanya hatinya yang teguh. Ngotot. Campur hobi. Dan yang penting: modalnya kuat.
Untuk memelihara Wang Buliau sampai sebesar yang di meja makan itu diperlukan waktu, ups, tujuh tahun. Siapa yang kuat menahan cash flow begitu lama.
Memelihara sapi saja hanya dua tahun. Lele bisa panen hanya dalam 3 bulan.
Fajar beda. Prinsip hidupnya: harus melakukan yang orang lain tidak bisa melakukan.
Ketika umur 28 tahun Fajar sudah beternak ikan Koi. Masih sangat langka ketika itu: 40 tahun lalu.
Masih sangat mahal.
Ia pindah ke Wang Buliau sejak Koi sudah tidak eksklusif lagi. Sudah menjadi pasaran. Harganya pun sudah sangat jatuh. Memelihara Koi tidak bergengsi lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: