Pak Parno Dimata Pak Bos Dahlan Iskan

Pak Parno Dimata Pak Bos Dahlan Iskan

Suparno Wonokromo (dua dari kiri) bersama Bos Dahlan Iskan (no 3 dari kiri) ketika di Palembang sempat naik LRT. -repro-Buku Ki Parno Sang Dalang

Ki Soeparno Wonokromo (Disadur dari Buku Ki Parno Sang Dalang)

*Mengenang 2 Tahun Meninggal H Soeparno Wonokromo, Raja Koran dan TV Lokal Sumbagsel, Jawa Barat, dan Jawa Tengah


Oleh: Purwadi

SEMUA orang menilai Pak Parno, atau Mas Parno, atau Bos Parno sebagai sosok yang sederhana dan tampil apa adanya. Jauh dari penampilan borjuis (orang kelas elit dan suka tampil wah).

BACA JUGA:Rela Temani Kakek Dul ke Gua Napalicin dan Singapur

 



Kemana-mana Pak Parno selalu mengenakan pakaian kaos oblong atau kaos berkerah. Sendal jepit atau terkadang sepatu sendal. Sepatu sendal pun jarang.

Dan ini diakui oleh Pak Bos (Dahlan Iskan-DIS). Kesederhanaan Pak Parno bukan hal yang dibuat-buat.

"Saya sudah lupa kapan melihat Mas Parno pakai sepatu. Dia lebih sering bersendal. Mungkin 15 tahun lalu (2006) saya melihat Mas Parno pakai sepatu. Waktu kami ke Eropa," ujar Pak Bos DIS.

BACA JUGA:Rela Temani Kakek Dul ke Gua Napalicin dan Singapur



Meski sesama tinggal di Jawa Timur. Pak Bos DIS belum pernah ke Dusun Krajan, Desa Poncol, Kecamatan Sine, Ngawi. Dusun kebanggan Pak Parno.

"Saya memang pernah berjanji akan berkunjung ke Poncol. Sekarang saya penuhi," kata Pak Bos DIS yang lebih dulu datang ke Dusun Krajan ketika Pak Parno meninggal.

Almarhum meninggal di RSCM Jakarta, 9 Desember 2020 lantaran sakit kangker pankreas.

Pak Bos DIS melihat orang orang yang menggali lubang pemakaman. Tepat di sebelah makam ibunya Pak Parno.

BACA JUGA:5 Pengisi Buku Ki Parno Sudah Tiada



Pak Parno memang dimakamkan di tanah kelahirannya di Dusun Krajan Desa Poncol, Ngawi.

"Hari ini (9 Desember 2020) saya penuhi janji itu," kata Pak Bos DIS.

Entah kapan Bos DIS berjanji untuk berkunjung ke Poncol. Desa di sebelah utara lereng Gunung Lawu itu.

Menurut Pak Bos DIS sendiri, ayahnya Iskan kelahiran sekitaran utara lereng Gunung Lawu juga. Di Gedangan, Jogorogo.

Untuk menuju Krajan, kata Pak Bos DIS, tidaklah mudah. Jalannya meliuk liuk memutari kaki Gunung Lawu.

"Ternyata jauh juga. Dari kota terdekat saja (Ngawi) masih jauh. Kalau dari desa kelahiran ayah saya 1 jam perjalanan darat," papar Pak Bos DIS.

Dan memang Poncol sudah dekat ke Karang Anyar, Jawa Tengah. Berbatasan. Sedikit lagi sudah masuk Provinsi Jawa Tengah. Hanya beda sisi saja di lereng Gunung Lawu itu.

Mantan Meneg BUMN era Presiden SBY ini juga memuji sikap peduli dengan daerah asal dari Pak Parno. Tanah kelahirannya itu.

"Setiap ada kesempatan Mas Parno pulang kampung. Menengok kedua orang tuanya ketika masih ada. Dan berziarah saat keduanya telah tiada," katanya lagi.

Sewaktu pulang ke Krajan, Poncol, Pak Parno selalu mengadakan pertunjukan wayang kulit gratis. Banyak dalang terkenal yang pernah diundangnya.

Salah satunya Ki Manteb Soedhasono. Yang kelak menjadi guru dalang dari Pak Parno.

"Di rumah yang berlantai 3 dan Dak bagian atasnya yang sejajar dengan jalan itulah digunakan Mas Parno untuk menggelar pertunjukan wayang kulit semalaman," kata Pak Bos DIS.

Hobi Pak Parno mendalang tak lepas dari pengamatan Pak Bos DIS. Bahkan, secara halus dua kali Pak DIS menegur Pak Parno.

Maklum jabatan Pak Parno adalah Direktur Utama PT Wahana Semesta Mesdeka (WSM). Tidak kurang dari 50 perusahaan dibawah holding WSM.

Yakni perusahaan koran, TV, Radio, media oline dan tambak Udang. Perusahaan itu di Palembang (Sumsel), Jambi, Bengkulu, Lampung, Babel, Tasikmalaya, Cirebon, Bandung, Tegal, Banyumas dan sekitarnya.

"Tugas saya menjadi ringan. Karena Mas Parno mampu mengatasi berbagai persoalan di perusahaan yang dikelolanya," tambah Pak Bos DIS.

Melihat semua beres. Semua perusahaan dibawah WSM tumbuh positif. Setiap persoalan bisa teratasi, membuat Pak Bos DIS tidak lagi "menegur" Pak Parno yang sering mendalang wayang kulit.

Pak Bos DIS pernah menegur secara halus Pak Parno.

"Kok di Sumatera masih mendalang terus. Apakah nanti tidak ada anggapan men-Jawa-kan Sumatera?" tegur Pak Bos DIS seperti ditulisnya di Buku Ki Parno Sang Dalang.

"Di sini (Sumatera) banyak sekali orang Jawa. Mereka juga kangen wayang," jawab Pak Parno.

Mendengar jawaban itu, Pak Bos DIS tidak pernah lagi menegur Pak Parno. Apalagi kala itu, semua perusahaan dibawah komando Pak Parno perkembangannya bagus.

Suatu ketika Pak Bos DIS merasa kena batunya. Setelah tidak lagi menegur Pak Parno mendalang, malah ia yang disuruh jadi Dalang.

Waktu itu, ada rapat pimpinan WSM Grup di Jambi. Dan ada pegeralan wayang kulit.

"Saya diminta harus "mucuk-i". Yakni memainkan wayang di awal pertunjukan sebagai tanda pegelaran dimulai," ujar Pak Bos DIS. Rupanya kata Bos DIS, Pak Parno tahu bahwa dirinya juga suka wayang.

Pak Bos DIS mengidolakan Dalang wayang kulit Ki Narto Sabdo. Beliau banyak mengoleksi kaset kaset Ki Narto Sabdo. Sampai ratusan.

"Pernah saya tiap malam harus nyetir sendiri Surabaya-Magetan. Dan ketika saya sakit Ki Narto Sabdo-lah yang menemani," kata Pak DIS.

Nama Pak Parno hanya satu kata. Yakni Suparno. Sempat bekerja sebagai wartawan Masa Kini di Jogjakarta. Sebelum bergabung di Jawa Pos biro Jakarta.

Ketika akan ke luar negeri. Pak Bos DIS meminta menjadi dua kata. Ya, karena di paspor biasanya ketika itu harus ditulis dua kata. Dan Pak Parno memilih jadi Suparno Wonokromo.

Nama Wonokromo sendiri merupakan sebuah kecamatan di Kota Surabaya, Jatim. Penulis belum pernah mendengar cerita langsung dari Pak Parno kenapa dia memilih Wonokromo.

Apa mungkin karena selaras dengan namanya Suparno. Entahlah. Yang jelas penulis berbagung di Sumatera Ekspres Grup...sejak itu saya membaca nama beliau di boks redaksi koran Sumeks itu.

Yang jelas cara kerja Pak Parno meniru habis Pak Bos DIS. Semuanya persoalan dijawab dengan "Kerja, Kerja, Kerja".

Ini juga yang jadi motto Pak DIS ketika terjun ke birokrasi baik saat jadi Dirut PLN pusat dan Meneg BUMN. (*/bersambung)









Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: buku ki parno sang dalang