Safari Tiongkok

Safari Tiongkok

--

CEROBOH. Mengapa berani empat tahun tidak kontrol ke rumah sakit di Tianjin. Ups, bukan ceroboh. Apa boleh buat. Waktu itu saya sudah siap-siap berangkat ke sana. Lalu ada Covid-19.

Awal-awal setelah menjalani operasi ganti hati dulu, saya sering kontrol ke Tianjin. Tiap enam bulan sekali. Lalu setahun sekali. Kini sudah 17 tahun berlalu dengan selamat. Alhamdulillah.

Maka begitu pintu ke Tiongkok dibuka, saya urus visa. Saya harus cek kesehatan. Sekalian menanyakan apakah tingginya angka D-dimmer saya ada hubungannya dengan transplantasi.

Apalagi batuk saya tidak kunjung berhenti setelah pulang dari Arab Saudi. Memang satu rombongan umrah itu batuk semua. Itu sebenarnya normal. Konon hanya unta yang tidak batuk. Dan kami bukan unta. Bahkan profesor matematika yang rajin senam itu harus masuk ICU.

 

 

Di samping soal batuk, saya juga akan cek D-dimmer. Waktu terkena Covid di awal tahun 2021 dulu dokter kaget: kok D-dimmer saya mencapai 2.600. Padahal normalnya 500. Berbagai obat penurun D-dimmer diberikan. Tidak mempan. Lalu diberikan suntikan. Justru memperburuk SGOT/SGPT.

Akhirnya dokter tidak memberikan obat apa-apa. Toh saya tidak merasakan apa-apa. Covid yang masuk ke saya juga dari jenis yang sangat ringan: badan tidak panas, tidak batuk dan tidak kehilangan rasa makanan. Saya pun nyaris lupa kalau punya problem D-dimmer. Maka saya akan menanyakannya di Tianjin.

Sambil menunggu visa didapat saya pun menjalani Safari Ramadan bersama istri. Saya harus baik-baik dengan istri karena akan saya tinggal pergi.

Dia pilih tidak ikut ke Tianjin. Dia tahu kebiasaan saya di Tiongkok: selalu pilih naik kereta bawah tanah. Harus banyak sekali jalan. Naik turun tangga untuk pindah-pindah kereta. Padahal lututnyi perlu diistirahatkan. Terutama setelah diforsir di Makkah dan di Safari Ramadan.

Saya pun sendirian berangkat ke Tianjin. Kali ini juga juga pilih kelas ekonomi. Murah sekali: tidak sampai empat juta rupiah. Tentu saya harus duduk di kursi belakang. Tak apa. Toh lewat Singapura. Surabaya-Singapura hanya 2 jam. Lalu Singapura-Beijing 5 jam. Enteng. Setelah sukses 11 jam di kelas ekonomi Surabaya-Jeddah, lima jam itu menjadi sepele.

Masalahnya harus bermalam di Singapura. Juga tidak masalah. Saya bisa tidur di kursi di bandara Changi. Di terminal 2 ini. Tinggal cari deretan kursi yang kosong. Bisa rebahan selonjor di situ. Toh banyak teman senasib dari negara lain.

Saya sengaja tidak bermalam di kota Singapura, yang hotelnya saja bisa lebih mahal dari tiket pesawatnya. Toh hanya transit 7 jam. Kalau ke kota waktunya habis untuk proses imigrasi dan perjalanan taksi.

Menjelang cari kursi saya beli sandwich tuna dulu. Untuk persiapan makan sahur. Takutnya kafe itu tutup di dini hari. Tidur pun nyenyak sambil memeluk sandwich.

Pagi-pagi saya ke terminal 3. Naik kereta antar-terminal. Saya mengandalkan logika: SQ ke Beijing pasti berangkat dari terminal 3 yang istimewa. Sejak dulu begitu. Penerbangan tuan rumah diistimewakan. Seperti juga terminal 3 Cengkareng untuk Garuda. Sayang, sudah dapat keistimewaan tetap saja menghadapi kesulitan.

 

Tiba di terminal 3 Changi itu saya ingin tahu: lewat gate berapa. Saya pun ke layar informasi. Ternyata SQ jurusan Beijing lewat terminal 1.

"Ini perubahan besar!" teriak saya dalam hati. Dulu, terminal 1 hanya untuk penerbangan kelas bawah. Terminal 2 untuk penerbangan kelas menengah. Sedang terminal 3 untuk Singapore Airlines.

Saya pun ke terminal 1. Pakai kereta antar-terminal. Terpana. Ternyata terminal 1 sudah berubah. Sudah bukan kelas sederhana lagi. Selama Covid rupanya dilakukan pembenahan besar-besaran. Istana-istana branded ada di terminal 1.

Atau jangan-jangan sudah lama begitu. Saya saja yang sudah terlalu lama tidak naik SQ. Yakni sejak penerbangan dari Emirates tampil begitu perkasa.

Bismillah. Kini naik SQ lagi. Meski kelas ekonomi. Yang penting selama lima di penerbangan ini HP jangan low battery.

Maka begitu duduk di pesawat, yang saya lihat pertama adalah: adakah colokan listriknya. Harusnya ada. Kan SQ. Dan memang ada. Aman. Lima jam penebangan Singapura-Beijing, tidak akan terasa lama. Saya bisa terus sibuk. Lima tulisan Safari Ramadan pasti bisa selesai.

Hampir saja saya tidak bisa berangkat. Saya bersyukur saat berangkat ke Bandara Juanda waktunya longgar. Kalau mepet saya bisa gagal berangkat. Ternyata, sebelum boarding banyak yang harus dikerjakan. Harus cari App isian imigrasi Tiongkok. Tanpa itu tidak bisa check-in.

Ternyata tidak bisa lagi isi data imigrasi di atas pesawat. Atau setiba di Beijing nanti. Sudah tidak ada lagi kertas isian seperti itu. Sudah online semua.

Maka saya harus download Apps dulu. Lalu mencari formulir online di situ. Saya harus isi semua pertanyaan di layar HP. Pertanyaannya banyak sekali. Tulisannya kecil. Dua bahasa pula. Sampai petugas SQ harus membantu saya.

Saya harus amankan isian itu. Jangan sampai hilang. Saya capture. Saya simpan di favorites.

Kelak setelah mendarat di Beijing itulah yang pertama diproses. Menjelang counter imigrasi ada deretan barcode menyambut penumpang pesawat. Barcode itu harus difoto dengan HP. Lalu tersambung dengan formulir yang saya submit di Juanda.

Tanpa itu saya akan kesulitan di loket imigrasi. Saya lihat, ketika di Juanda, penumpang lain tidak sibuk mengisi apa pun di HP mereka. Berarti saya sendiri yang kurang peduli mengenai apa saja yang harus saya lakukan sebelum ke Tiongkok.

 

Pakaian pun saya tidak peduli. Di sana masih ada pakaian lama. Atau mungkin sudah dibelikan yang baru. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait