Oleh : DMS. Harby*
Mudik dalam bahasa adalah lawan dari kata muara. Keduanya identik dengan sungai sebagai bagian dari identitas Nusantara. Nusantara adalah salah satu kawasan maritim strategis dunia. Sebuah kawasan yang terletak persis di tengah-tengah "khathth al istiwaa'" (lazim tertulis khatulistiwa) atau garis sepadan dunia. Kawasan yang berada di antara 2 benua dan 2 samudera. Kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati (biodiversiti) paling tinggi di dunia.
Jika muara merupakan hujungnya sungai yang kalau tidak berada di kawasan pesisir atau pantai dari sebuah samudera, berada di kawasan badan sungai yang lainnya. Maka, mudik adalah pangkalnya sungai yang umumnya berada di kaki sebuah gunung atau kawasan pegunungan.
Mudik adalah juga gerak kembali ke pangkal sungai. Sebagaimana ditemukan di beberapa sungai di Nusantara atau bahkan dunia. Dimana ikan-ikan melakukannya. Sebagaimana yang sering penulis dengar dari kawasan pesisir sungai Komering. Tanah adat ulayat tempat penulis menghambakan diri.
Dalam dunia rantau, istilah lain dari mudik ialah pulang (kembali) ke kampung halaman. Dunia sendiri pun sejatinya tempat kita merantau. Karena, semua kita kan pulang ke kampung halaman nan abadi. Akhirat.
Nusantara yang maritim ini tentu saja identik dengan merantau karena tradisi leluhurnya yang suka melaut. Sebab dulu, merantau itu tentu saja harus dimulai dengan melaut. Sebab, tidak mungkin dapat merantau tanpa menyeberangi laut.
Minangkabau terkenal jua dengan laku merantau anak negerinya. Populasi perantau Minangkabau cukup banyak tersebar di Nusantara bahkan dunia. Para tokoh pun demikian jua, bahkan kelas dunia.
Sosok alim paling masyhur adalah Beliau Maulana Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Mahagurunya para tokoh pendiri beberapa perguruan dan perkumpulan besar Islam. Al-Washliyah, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan lain semisalnya.
Kesemua perguruan atau perkumpulan besar Islam itu didirikan oleh para tokoh yang juga murid dari sosok asal Kecamatan IV Angkat Canduang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat ini. Beliau, salah seorang mahaguru ulama Nusantara ini, juga imam dan khatib di Masjidil Haram, Mekkah.
Beliau juga bertugas sebagai benteng Islam bercorak Sunni Syafii. Beliau memboyong keluarga besarnya dari Minangkabau ke Mekkah. Hingga wafatnya, Beliau hanya sekali dua mudiknya. Memang, seperti riwayat dari Buya Apria Putra ,
Beliau adalah juga keturunan Arab. Abdul Lathif, ayahnya, berayahkan Abdullah. Yang dari Arab datang ke Minangkabau untuk mengajarkan ilmu keislaman di surau-surau. Kakeknya ini menikahi neneknya yang pribumi Minang.
Ayahnya pun menikahi ibunya yang juga pribumi Minang. Karena garis keturunan Minang modelnya Matriarkhat, maka dari ibunya inilah mengalir darah Minangnya. Meskipun tidak mudik, Beliau meninggalkan banyak legacy. Termasuk muridnya yang sekampung halaman, Maulana Syaikh Sulaiman Arrasuly.
Inyiak Canduang, begitu akrabnya. Pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Muridnya inilah yang menguatkan kembali pertalian agama dan adat di Ranah Minangkabau. Sesuatu yang berakar dari cara berislam yang utuh.
Yang memuat pendekatan syareat, hakekat, tarekat dan makrifat tersentuh secara menyeluruh. Sesuai ajaran Sang Mahaguru, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Pendekatan yang sejak awal ditumbuhkembangkan oleh para pendahulu. Mereka yang mengenalkan Islam pertama kali di Nusantara.
Pola yang terhubung bulat dan utuh hingga menjadikan Islam sebagai agama dan Minangkabau sebagai adat nan terpaut erat dan saling mengikat. Hingga agama menjadi kawi dan adat menjadi lazim. Agama yang mengarahkan dan adat yang melaksanakan.