DARI Beijing saya langsung ke Trenggalek. Lebaran di kota kelahiran lodhoh komersial itu. Saya ikut saja apa maunya anak-cucu.
Bupatinya Bonek: Mochamad Nur Arifin. Dipanggil Ipin. Masih muda: 32 tahun. Ketika terpilih sebagai wakil bupati ia baru berumur 25 tahun. Istrinya model. I-nya lima. Ketika masih di SMA 17 Surabaya, dia ikut DBL, event kebanggaan anak-anak SMA di Indonesia. Tahun lalu kami berlebaran di Banyuwangi, meski juga tidak punya keluarga di sana.Lebaran Ipin
Senin 24-04-2023,05:35 WIB
Editor : asa
Di Lebaran seperti inilah kami bisa berkumpul lengkap sekeluarga. Berlebaran seperti itu kami bisa berinteraksi sekeluarga dengan intensitas tinggi: dua harmal. Termasuk menjadi seperti anak kecil: main-main di alun-alun. Ayunan di pantai. Naik-naik tumpukan batu. Beli makanan-makanan kaki lima di pinggir jalan. Duduk-duduk di trotoar. Dan bikin video main-main keluarga di Pantai Mutiara. Acara formalnya hanya satu: diajak bupati salat Idulfitri di Masjid Agung Trenggalek. Lalu makan opor ayam di pendapa kabupaten. Kali ini kami minta izin melaksanakan sungkeman keluarga di pendapa kabupaten. Mumpung masih sepi. Yang ramai adalah di halamannya: masyarakat mulai antre bersalaman dengan bupati sekalian dapat hadiah Lebaran. Tahun lalu kami sungkeman di taman kompleks villa Soolong. Di pinggir laut Banyuwangi. Acaranya sama: para istri sungkem ke suami. Anak-anak sungkem ke orang tua. Cucu-cucu sungkem ke kakek-nenek. Anak yang lebih muda sungkem ke anak yang lebih tua. Cucu yang lebih kecil sungkem ke yang lebih besar. Lalu ganti: para suami sungkem ke istri. Kami memang yakin para suamilah yang lebih banyak salah ke istri. Dan kesalahan suami itu biasanya hanya disimpan dalam-dalam di hati istri. Suami-sungkem-istri itu sudah bertahun-tahun kami lakukan. Jeleknya: itu bukan atas kesadaran para suami. Itu atas tuntutan para istri. Lalu para suami bisa menerima tuntutan itu. Kami pun, para suami, sungkem ke istri dengan keikhlasan tinggi. Dari acara makan opor di pendapa ini saya bisa menarik kesimpulan: Bupati Ipin adalah pengagum Bung Karno. Foto dan lukisan proklamator Indonesia itu bertebaran di mana-mana. Ia sendiri selalu mengenakan kopiah khas Bung Karno. Wajahnya, saya pelototi, ada juga mirip Bung Karno: ganteng. Cucu Pak Iskan melihatnya lain. "Songkok itu punya fungsi lain," katanya. Sang cucu mengenal lebih baik Cak Ipin. Ada hubungan sesama Bonek. Sang cucu adalah presiden Persebaya yang entah diizinkan mundur atau tidak. "Kopiah itu sekalian untuk menutup rambutnya," katanya lantas tertawa ke arah Ipin. Itu bukan gurau. Bupati Ipin memang berambut panjang. Dicat pula. Khas anak muda masa kini. Tapi di Lebaran ini saya tidak melihat rambut panjang itu. Pun ketika kopiah Bung Karno-nya agak digeser. Terlihat bekas cukuran. "Saya sekarang gundul," kata Cak Ipin. Sejak kapan? "Sejak hari kanker nasional kapan itu," tambahnya. Di acara itu, Ipin melihat seorang istri merawat suami yang lagi sakit parah. Padahal sang istri juga lagi sakit kanker. Kepala sang istri gundul. Ia menangis dalam hati: istri yang sakit masih merawat suami yang sakit. Lalu ia menggundul rambut panjangnya. Bupati Ipin pandai sekali manarasikan persoalan rumit. Bicaranya lancar seperti kereta cepat Tiongkok. "Dari mana belajar pandai berbicara?" tanya saya. "Lho saya dulu kan penjual panci," jawabnya spontan. Ipin memang matang ditempa oleh keadaan: ayahnya meninggal ketika umur Ipin baru 16 tahun. Masih di SMAN 6 Surabaya. Ia anak pertama dari tiga bersaudara. Ia langsung harus mengambil alih usaha orang tua: jualan panci. Direct selling. Setelah usaha tertata, Ipin kuliah. Tapi pikirannya terus di panci. Ia bahkan bikin pabrik panci di Trenggalek, kampung asal bapaknya. Dalam berdagang panci, ia punya prinsip yang beda sekali: tidak mau pasang iklan. Juga tidak mau jualan online. Dasar pikirannya: agar tidak cepat ditiru pabrikan besar, terutama Tiongkok. Itulah kiatnya bertahan dari serbuan barang Tiongkok. Merek pancinya: Tin. Diambil dari nama ibunya. Kuat. "Saking kuatnya banyak yang dipakai mengeduk pasir," kelakarnya. Ia tidak peduli pancinya dipakai apa saja. Yang penting terjual. "Di LHKPN, saya terlihat punya banyak sekali mobil. Tapi kalau dilihat secara detail tidak ada yang bermerek," guraunya. Itulah mobil-mobil pikap sebagai armada direct selling panci. Kok tertarik politik? “Orang tua saya PKB. Tapi saya tidak pernah didukung PKB," katanya pahit. Ia ingat, waktu kecil, diajak bapaknya ke kantor NU Surabaya. Sang ayah, saat itu, lagi berjuang menjadi ketua PCNU Surabaya. Sukses punya pabrik panci, Ipin menjadi anak muda yang menonjol di Trenggalek. Maka ketika Emil Dardak maju sebagai calon bupati Trenggalek, Ipin digandeng sebagai cawabup. Waktu itu umurnya baru dua bulan genap 25 tahun. "Kalau saja penutupan pendaftaran cagub itu bulan Maret, saya tidak memenuhi syarat. Untungnya bulan Mei. Saya baru berumur 25 tahun di bulan April," katanya. Menjelang mendaftar sebagai cawabup itu Ipin ke Surabaya. Menemui ibunya. Minta restu. Sang ibu memberi restu. Lega. Setelah itu sang ibu ingat ada surat yang sudah beberapa hari dia taruh di meja. Dia ambil surat itu. Dia serahkan ke Ipin. Dari Universitas Airlangga. Isinya pemberitahuan: Ipin di-DO. Hari itu Ipin menerima restu ibu dan pemberitahuan dikeluarkan dari Unair. Penyebabnya: lupa membayar SPP sampai batas waktu yang ditentukan. Padahal tinggal skripsi di fakultas ekonomi. Ipin segera melupakan DO itu. Yang penting jangan bocor di masa kampanye. Akhirnya: pasangan Emil-Ipin terpilih. Meraih 70 persen suara pula. Emil adalah doktor lulusan Jepang. Putra mantan wakil menteri PU yang asli Trenggalek. Istri Emil juga model dan bintang film dengan 5i. Di tengah jalan, Emil maju jadi calon wakil gubernur Jatim. Berpasangan dengan Khofifah Indar Parawansa. Terpilih.
Kategori :