Safari Aladin

Selasa 18-04-2023,04:31 WIB
Reporter : asa
Editor : asa

SAYA  senang acara makan malam dengan mahasiswa di Nanjing ini di resto Aladin. Masakan Xinjiang. Serba kambing. Dengan mie kenyalnya yang besar, yang dipotong-potong tinggal seukuran 1 cm.

Saya sering makan di resto Xinjiang di berbagai kota di RRT. Tapi pilihan Sasa, mahasiswi bisnis internasional asal Bali ini, istimewa. Rasa satenya persis aslinya yang di Xinjiang.

Begitu tiba di resto Aladin terlihat penari tunggal di lob i  dekat pintu masuk. Tari Xinjiang. Lagu Xinjiang. Penarinya laki-laki ber topi haji. Dilihat dari bentuk  wajahnya juga orang Xinjiang. Itulah provinsi yang mayoritas penduduknya Islam. Jauh di barat, di perbatasan dengan Uzbekistan.

Saya hampir saja gabung dengan penari itu. Ingat ketika saya di Xinjiang empat tahun lalu: ikut menari di plaza Bazar yang terkenal itu. Ratusan orang menari bersama. Laki perempuan . Gerakannya ada yang mirip zap in. Sebagian mereka pakai topi putih.

 
Di resto A ladin ini kami diberi tempat makan di lantai dua. Tapi t etap bisa melihat penari di lobi .

 

"Apakah kami nanti setelah lulus harus pulang?  Harapan orang tua, saya harus pulang," tanya Krisdahim Kogoya, asal Wamena.

Ia asli Wamena  – kini ibu  kota provinsi Papua Pegunungan. Hitam kulitnya, keriting rambutnya  – seperti lirik dalam lagu kebanggaan orang Papua.

Saya harus menjawab itu. Namanya saja dialog sambil makan. Kris sudah empat tahun di Nanjing.  Kuliah di 南京信息工程大学  (Nanjing University of Information Science & Technology).  Awalnya mengambil D3 software komputer. Tapi tahun pertama harus belajar bahasa dulu. Kris sudah begitu pandai berbahasa Mandarin. Saya kalah total.

Nilai kelulusan D3-nya sangat baik: GPA-nya 3,54/4,50. Karena itu Kris ditawari  untuk langsung ke S1. Dapat bea s iswa dari universitas. Tapi bea siswa itu hanya untuk prodi  artificial  intelligence .

Syarat kedua, bea siswa hanya berlaku untuk satu tahun. Baru kalau nilainya bagus bisa dilanjutkan tahun kedua. "Puji Tuhan nila i tahun pertama saya bagus. Bea siswa bisa diteruskan. Mohon doa nilai di tahun kedua juga bagus," katanya.

Untuk pertanyaannya saya sulit menjawab. Saya pernah ke Wamena. Kotanya kian besar.  Sejuk selamanya. Sekitarnya pun  indah. Bergunung-gunung. Berlembah-lembah.

Ayah Kris seorang guru bahasa  Inggris di Wamena. Kalau Kris  pulang, saya tidak tahu harus kerja apa di sana. Saya tidak punya ide. Ia sendiri juga belum tahu. Maka saya sampaikan apakah tidak sebaiknya bertahan dulu di luar negeri . Tidak harus di Tiongkok. Ke  mana saja.

Ibarat alat kerja, Kris itu masih sebesar cangkul. Harus jadi traktor dulu. Kalau perlu jadi bu ldoser. Setelah it u barulah pulang ke Wamena.

  Wamena  perlu traktor besar. Bukan seka dar cangkul. Masalahnya, jangan-jangan, kalau sudah jadi traktor justru tidak mau pulang kampung. "Kalau saya, pilih jadi traktor dulu, baru pulang. Tapi harus ditanamkan dendam yang dalam di dada Anda, bahwa kalau sudah jadi traktor harus pulang," kata saya.

Saya juga mengingatkan agar jangan takut dikatakan tidak nasionalis hanya gara-gara tidak mau pulang. "Tetap di luar negeri pun bisa nasionalis. Indonesia perlu  network yang kuat di dunia internasional," kata saya.

Sasa yang dari Bali mengemukakan persoalan antara hobi, keinginan ,  dan tuntutan keluarga. Sebenarnya Sasa ingin jadi penyelam profesional. Sampai mencapai tingkat master . Lalu bisa ikut menyelamatkan c oral laut.

Tapi keluarganyi di Denpasar menginginkan Sasa cepat bisa bekerja. Mencari uang. Dua adiknyi juga harus dibiayai untuk kuliah. Sasa bingung berat. Harus bagaimana.

Awalnya, saya pikir, hobi  Sasa di fashion. Terlihat dari profilnyi. Maka saya sarankan agar Sasa memberontak. Terjuni hobi itu habis-habisan. Sampai menjadi sumber penghasilan. Lihat hasilnya dalam dua tahun. Kalau gagal, banting stir.

Ternyata keinginan Sasa jadi penyelam. Maka saya minta Sasa berpikir ulang. Jangan takut bekerja yang tidak cocok dengan keinginan. Terlalu banyak orang sukses lewat pekerjaan  yang tidak disukai. Kuncinya  sungguh-sungguh.

Banyak yang bertanya malam kemarin. Ike mengemukakan soal kepemimpinan. Ia sendiri ketua mahasiswa Indonesia di Nanjing. Ike itu nama panggilan. Nama lengkapnyi: Eiricke Carolina de Poere. Asal Cibinong, Bogor. Berjilbab. Namanyi tidak seperti orang Sunda karena Ike masih keturunan Portugis dari kakeknyi.

Di Nanjing Ike mengambil prodi pendidikan bahasa Mandarin. Dia pernah sekolah bahasa di Guizhou, jauh di Tiongkok tenggara. Kini Ike menempuh S1 di Nanjing Shifan Daxue  – IKIP-nya Nanjing.

Apakah Ike akan jadi guru bahasa Mandarin? “Saya akan bisnis. Agar ayah saya nanti tetap sibuk di usia pensiun beliau," katanya. Sang ayah ahli teh. Kini menjabat manajer senior di sebuah perusahaan teh. Sebentar lagi pensiun.

"Salah satu tugas utama pemimpin adalah menyelesaikan persoalan. Makanya harus latihan sejak dari muda: jangan pernah lari dari persoalan. Hadapi. Terjuni. Cari jalan keluarnya," kata saya. Masih banyak prinsip lainnya, tapi takut tulisan ini akan terlalu panjang.

Saya sudah sering ke Nanjing. Kota ini kian modern saja. Ketika berbuka puasa di masjid, saya pilih jalan kaki dari  H otel Jinling. Nama  h otel itu diambil dari nama Nanjing di zaman kuno.

Saya tiba di Nanjing dari Shanghai. Mampir satu malam di kota kecil Yangzhong yang baru kali ini saya datangi.

 

Kami pun mengakhiri dialog pukul 21.00. Resto sudah siap-siap tutup. Sisa-sisa rasa masakan Xinjiang masih nyangkut di  software otak saya.  ( Dahlan Iskan )

Tags : #safari aladin #disway.id #catatan dahlan iskan
Kategori :

Terkait

Jumat 15-09-2023,05:15 WIB

Ruang 48

Jumat 21-07-2023,05:23 WIB

Zaytun Sinagog

Selasa 18-07-2023,05:35 WIB

Gak Patheken

Senin 17-07-2023,06:10 WIB

IDI PWI

Minggu 16-07-2023,05:34 WIB

Rambut Putih

Terpopuler

Terkini