JUMAT keramat juga terjadi di Amerika Serikat: hari itu, Jumat lalu, Silicon Valley Bank (SVB) kolaps. Kejutan yang dramatis.
Di Indonesia orang menyebut pentingnya langkah Menko Polhukam Mahfud MD –dalam mempersoalkan Indosurya. Sistem keuangan Amerika tidak akan terganggu oleh kebangkrutan SVB. Biar pun SVB adalah bank terbesar ke-16 di sana. Dan kebangkrutan ini adalah yang terbesar sejak krisis moneter tahun 2008. Atau terbesar kedua dalam sejarah perbankan Amerika, setelah Washington Mutual. Tapi kejahatan keuangan seperti yang terjadi di Indosurya bisa membahayakan sistem keuangan Indonesia. Lihatlah angka permainan di bisnis jenis itu: Indosurya Rp 106 triliun, Jiwasraya Rp 37 triliun, Asabri Rp 23 triliun, Wanaartha Rp 15 triliun, ATG Rp 9 triliun, Narada Rp 9 triliun, Krisna Life Rp 6,5 triliun, Minapadi Rp 6 triliun. Betapa besar untuk skala Indonesia. Apalagi kalau uang itu mengalir ke luar negeri. OJK dibentuk setelah terjadi krisis moneter 2008. Tujuannya: agar tidak terjadi lagi krisis serupa. Tentu lewat aturan dan pengawasan yang lebih baik. Memang kita tidak bisa seperti Tiongkok yang mampu meringkus penculik konglomerat yang sulit ditangkap oleh sistem hukum Hong Kong ( Disway, 19 Maret 2018). Agak aneh. Padahal kita bisa menjulurkan invisible hand di bidang politik. Lewat cara itu sang invisible berhasil menangkap seluruh kekuatan politik yang ada. Pertanyaannya: mengapa mau memerankan invisible hand di bidang politik tapi tidak mau di bidang keuangan? Mencuri uang Rp 106 triliun dari masyarakat dan aman-aman saja, sungguh tidak bisa diterima oleh perasaan keadilan masyarakat. Mahfud MD telah mewakili perasaan umum itu. Lebih parah lagi kalau uang itu diparkir di luar negeri: negara ikut dirugikan. Maka momentums bangkrutnya Silicon Valley Bank dipakai banyak ahli untuk mengingatkan banyak negara: agar masing-masing mengkaji risiko krisis. Hari itu juga, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, rapat sampai tengah malam. Sunak tidak mau perusahaan-perusahaan teknologi Inggris ikut kolaps. Terutama para starup yang potensial. "Tanpa bantuan, mereka tidak akan bisa membayar gaji bulan ini. Juga tidak mampu membayar vendor," ujarnya seperti dikutip media di sana. SVB memang didirikan terkait dengan demam startup di San Jose, California zaman itu: 1983. Nama Silicon Valley menjadi seperti jaminan mendapatkan dana besar. Dana dari venture capital membanjir ke Silicon Valley. Hanya ada sedikit kesulitan teknis: dana ventura itu harus ditarik kembali, sesuai dengan jadwal penarikan. Maka perlu ada lembaga keuangan yang mengurus penarikannya. Bank-bank konvensional belum punya pemahaman mendalam soal perilaku startup. Terutama dalam menghitung risikonya. Maka muncul ide untuk mendirikan Silicon Valley Bank. Pasar keuangan menyambutnya dengan gegap gempita. Seperti gula ketemu semut. Apalagi saat itu harga saham perusahaan teknologi membalon tinggi-tinggi. SVB tidak hanya mengurus pengembalian dana ventura. Ketika startup itu berhasil menjadi perusahaan yang bagus mereka tetap menjadi nasabah SVB. Ujian pertama terjadi ketika banyak balon itu meletus. Mengisi anginnya terlalu banyak.Silicon Startup
Selasa 14-03-2023,05:59 WIB
Editor : asa
Kategori :